Autor: |
Muhammad Alwi HS, Iin Parningsih |
Jazyk: |
Arabic<br />English<br />Indonesian |
Rok vydání: |
2020 |
Předmět: |
|
Zdroj: |
Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol 22, Iss 2, Pp 120-134 (2020) |
Druh dokumentu: |
article |
ISSN: |
2356-1955 |
DOI: |
10.22373/substantia.v22i2.8238 |
Popis: |
This paper discusses the verbalization of the Quran as a method of understanding the contextual Quran based on orality, with a focus on Surah Al-Baqarah [2]: 256. This method aims to create a mutual understanding among people that have been polarized these days due to different opinions. The verbalization of the Quran has a very strong epistemology in the history of understanding the Quran because it is based on the orality of the Quran, which was the initial and original form of the Quran when it was first revealed to the Prophet Muhammad SAW and spread to the Arab community. Surah Al-Baqarah [2]: 256 was revealed as a response to two utterances spoken in different contexts but essentially share the same illocution, namely a rejection to the coercions of certain religions. This contextual understanding has been verbalized and reflected in Law No. 39 of 1999 concerning Human Rights; Paragraph 1 of Article 28E in the 1945 Constitution of Republic Indonesia; Article 28 I in the 1945 Constitution of Republic Indonesia; Paragraph 2 of Article 29 in the 1945 Constitution of Republic Indonesia – all of which indicate the attempts to reject forced religious conversion in Indonesia. Abstrak Artikel ini mendiskusikan tentang Verbalisasi Al-Qur’an sebagai metode pemahaman kontekstual Al-Qur’an dengan berbasis kelisanan, yang berfokus pada QS. Al-Baqarah [2]: 256. Metode Verbalisasi Al-Qur’an ini hadir sebagai upaya menghubungkan pemahaman antar berbagai kelompok yang selama ini terkotak-kotakkan. Verbalisasi Al-Qur’an memiliki epistemologi yang sangat kuat dalam tradisi pemahaman Al-Qur’an, hal ini karena Verbalisasi Al-Qur’an berangkat dari kelisanan Al-Qur’an yang merupakan bentuk awal sekaligus jati diri Al-Qur’an ketika pertama kali disampaikan pada era pewahyuan, dari Nabi Muhammad SAW kepada Masyarakat Arab. Dalam kasus QS. Al-Baqarah [2]: 256, ia disampaikan sebagai respon penolakan terhadap keinginan dua lawan tutur dan konteks tuturan yang berbeda, tetapi mengandung pemahaman yang sama, yakni penolakan atas tindakan pemaksaan agama tertentu. Pemahaman yang kontekstual tersebut dapat diverbalisasikan ke dalam bentuk UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UUD 1945 dalam pasal 28E ayat 1, UU 1945 dalam pasal 28 I, dan UUD 1945 pada pasal 29 ayat (2), yang semuanya adalah upaya penolakan atas tindakan pemaksaan untuk memeluk agama tertentu dalam konteks di Indonesia. |
Databáze: |
Directory of Open Access Journals |
Externí odkaz: |
|