Dekonstruksi Kewenangan Investigatif dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat

Autor: Nurrahman Aji Utomo
Jazyk: English<br />Indonesian
Rok vydání: 2020
Předmět:
Zdroj: Jurnal Konstitusi, Vol 16, Iss 4 (2020)
Druh dokumentu: article
ISSN: 1829-7706
2548-1657
DOI: 10.31078/jk1647
Popis: Relasi fungsi Komnas HAM sebagai penyelidik dan Jaksa Agung sebagai penyidik, menyisakan ruang pedebatan yang menyandera penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. Bersamaan dengan itu Putusan MK No.75/PUU-XII/2015 yang menguji frasa “kurang lengkap..” Pasal 20 (3) UU Pengadilan HAM, menegaskan bahwa bolak balik berkas, merupakan implikasi dari masalah dalam penerapan norma dalam praktik. Sedangkan konsekuensi dari frasa tersebut menyasar pada lingkup pemeriksaan bukti dan peristiwa. Kajian ini berupaya mengurai praktik penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM, dengan menganalisis relasi antara kedua kewenangan tersebut. Pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual, menjadi lingkup analisis yang membantu untuk menjawab isu hukum. Kajian ini menemukan bahwa penggunaan frasa dan penafsirannya melahirkan friksi dalam penerapan norma. Untuk mengurai hal tersebut dilakukan dengan memetakan praktik dari bolak balik berkas. Perbedaan penafsiran ditemukan pada melebarnya hasil penyelidikan hingga penuntutan, yang berujung pada perbedaan klasifikasi jenis pidana. Temuan berupa ketidaksesuaian penerapan norma, merupakan konsekuensi dari praktik model hierarki dihadapkan pada otoritas kewenangan yang terpisah. Alhasil bentuk prosedur yang dipertanyakan, berkutat pada prosedur yang ada tanpa melihat karakter khusus dari situasi, peristiwa, kejahatan. Berlanjut dari itu anomali dalam praktik menjadikan penggunaan model hierarki dan model koordinasi dalam investigasi mengaburkan proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. Berkaca pada proses di ICC terdapat beberapa hal yang bisa diambil untuk memperkaya wacana proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat. The relation between the functions investigation of the National Human Rights Commission and the Attorney General leaves a space for debate that holds hostage to completion of gross human rights violations. At the same time, the Constitutional Court Decision No. 75/PUU-XII/2015 which examines the phrase "incomplete..." Article 20 (3) of the Law on Human Rights Courts, emphasizes that back and forth files are the implications of problems in applying norms in practice. While the consequences of these phrases target the scope of proofs and event examinations. This study seeks to unravel the practice of investigating human rights violations by analyzing the relations between the two authorities. Legislative approaches, conceptual approaches, historical approaches are the scope of analysis which helps to address legal issues. This study found that the use of phrases and their interpretations gave birth to friction in the application of norms. To parse this, it is done by mapping the practice of back and forth files. Differences in interpretation were found in the widening of the results of investigations to prosecution, which led to differences in the classification of criminal types. The findings in the form of incompatibility of norms are a consequence of the practice of hierarchical models faced with separate authority. As a result, the form of procedure is questioned, dwelling on existing procedures without seeing the special character of the situations, events, and the crimes. Continuing from that, anomalies in practice make the use of hierarchical models and coordination models in investigations obscure the process of resolving gross human rights violations. Reflecting on the process at the ICC, there are several things that can be taken to enrich the discourse on the process of completion gross human rights violations.
Databáze: Directory of Open Access Journals