Popis: |
Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengintegrasikan desa sebagai self governing community dan local self government) dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). UU Desa juga mereposisi kedudukan desa dihadapan negara dengan spririt demokratisasi (partisipasi, akses dan kontrol). Namun, pembentukan desa oleh pemerintah pusat di wilayah perbatasan negara berdasarkan Pasal 13 UU Desa, asas yang menjadi basis dalam proses penataan desa tidak dinternalisasikan. Sehingga, dipastikan mekanisme pembentukan desa oleh pemerintah pusat kontraproduktif dengan spririt asas yang diakomodir dalam UU Desa (rekognisi dan subsiadiritas sebagai dasar kontestasi prakarsa masyarakat dalam proses pembentukan). Fokus masalah: (1) Mengapa Undang-Undang Desa memberikan kewenangan atributif pembentukan desa di wilayah perbatasan Negara kepada Pemerintah Pusat? (2) Bagaimana kewenangan dan pengaturan pembentukan oleh Pemerintah Pusat di wilayah perbatasan negara dan (3) Bagaimana pemberdayaan desa oleh Pemerintah Pusat untuk penataan desa di wilayah perbatasan negara. Jenis penelitian ini yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, perbandingan, dan sejarah. Penelitian ini menunjukan bahwa (1) Paradigma perbatasan negara sebagai wilayah yang bersifat multifaset dan konstruksi otonomi daerah NKRI disertai doktrin ulta vires yang menempatkan urusan konkuren pembentukan desa pada ranah kewenangan Pemerintah Pusat melalui pertimbangan kriteria urusan UU Pemda 2014 adalah causa prima dibalik justifikasi diletakannya kewenangan atributif pembentukan desa kepada Pemerintah Pusat. (2) Kewenangan dan pengaturan pembentukan desa oleh pemerintah pusat di wilayah perbatasan negara kontradiktif dengan asas penataan desa yang justru menempatkan rekognisi hak bawaan (natural authority) dan subsiadiritas pengambilan keputusan sebagai ruang kontestasi demokrasi deliberatif (prakarsa masyarakat desa/posisi entitas yang setara) dalam perspektif teori negara hukum. (3) Pemberdayaan desa oleh Pemerintah Pusat untuk penataan desa di wilayah perbatasan negara melalui program save village mengusung pola central-developmentalism pada aspek pertahanan keamanan (security) dan kesejahteraan (prosperity). Pola pemberdayan ini tidak dapat dilakukan secara seragam, melainkan bersifat asimetris dan berbasis potensi lokal, sehingga fundamen pemberdayaan seharusnya memberikan ruang penguatan pada hukum adat sebagai wujud rekognisi pembangunan berbasis kewenangan yang dimiliki dari masing-masing desa tersebut. Oleh karena itu, seharusnya asas dari UU Desa menjadi pedoman bagi pembentukan desa versi Pemerintah Pusat yang justru mengonstruksikan relasi desa dan negara sebagai entitas yang setara dengan subjektivitas pengambilan keputusan berbasiskan kepentingan dari desa itu sendiri (rekognisi /subsidiaritas). |