PERCATURAN POLITIK BANI UMAIYAH DALAM MENDIRIKAN PEMERINTAHAN MONARKI
Autor: | Syafuri, B |
---|---|
Rok vydání: | 2022 |
Předmět: | |
Zdroj: | Al Qisthas: Jurnal Hukum dan Politik Ketatanegaraan; Vol. 12 No. 2 (2021): Juli-Desember; 13-33 |
ISSN: | 2715-3614 2086-9649 |
DOI: | 10.37035/alqisthas.v12i2.5229 |
Popis: | Persoalan yang pertama kali muncul di kalangan umat Islam awal sepeninggal Nabi Muhammad saw. adalah persoalan politik, yaitu penentuan pengganti Nabi sebagai Kepala Negara dari Negara Madinah. Fenomena ini muncul disebabkan karena Nabi semasa hidupnya tidak pernah meninggalkan wasiat yang bisa diterima oleh para sahabat terkait masalah itu, meskipun ada klaim dari pendukung Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi telah memberikan wasiat mengenai masalah ini yang kemudian dikenal dengan “peristiwa Gadir Qum”, namun hal itu masih diperdebatkan keabsahannya oleh sebagian besar sahabat. Di samping itu tidak terdapat petunujuk dari ayat-ayat al Qur’an terkait masalah tersebut, akibatnya timbullah perdebatan yang sengit dan hampir saja menjadikan mereka terpecah belah, bahkan lebih fatal dari itu. Sebagian berpendapat menyatakan bahwa pengganti Nabi itu harus dari suku Quraisy karena suku ini dipandang oleh masyarakat Arab waktu itu sebagai suku besar yang sangat mulia dan dihormati oleh suku-suku yang lain. Pendapat kelompok inilah yang kemudian diterima oleh komunitas Muslim awal, dengan dipilihnya Abu Bakar sebagai khalifah. Pendapat ini kemudian dianut oleh golongan Sunni. Sebagian lagi berpendapat bahwa yang berhak menggantikan Nabi sebagai Kepala Negara adalah salah satu keluarga sedarah yang terdekat dengan Nabi, dan Ali bin Abi Thalib dipandang orang yang paling tepat mewarisi kepemimpinan. Ali bin Abi Thalib, disamping sepupu Nabi, dia juga menantu Nabi, suami dari Fatimah, pendapat ini kemudian dianut oleh golongan Syi’ah. Sebagian lagi berpendapat bahwa yang berhak sebagai pengganti Nabi adalah dari kalangan Anshar. Pada perkembangan selanjutnya, muncul pendapat bahwa pengganti Nabi tidak mesti dari golongan Quraisy, apalagi keluarga Nabi, tetapi siapa saja dari ummat Islam, walaupun bukan berasal dari etnis Arab, ia bisa mengganti Nabi sebagai Kepala Negara. Pendapat ini pada mulanya dianut oleh golongan Khawarij, tetapi semenjak abad ke XIV dianut oleh golongan Sunni. |
Databáze: | OpenAIRE |
Externí odkaz: |