Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pembatalan Peraturan Daerah

Autor: Ahmad Heru Romadhon, Sadjijono Sadjijono, W. Danang Widoyoko
Rok vydání: 2022
Zdroj: Anima Legis. 1:1-13
ISSN: 2828-5395
Popis: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih dalam kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi dalam menguji UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, dalam hal ini adalah pembatalan Peraturan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota yang telah dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri menjalankan kewenanganya yang telah di atur dalam Undang-undang tersebut. Tetapi disisi lain apa yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri menimbulkan permasalahan baru dimana kewenangan itu masuk dalam ranah yudisial. Sehingga Asosiasi Pemerintah Daerah melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk judicial review. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015 dan No. 56/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa kewenangan itu dimiliki oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat. Tetapi pada 14/6/2017 Mahkamah Konstitusi kembali menguji putusan tersebut bertentangan dengan UUD’45 sehingga satu-satunya yang berwenang membatalkan Peraturan Daerah adalah Magkamah Agung, putusan itu sekaligus mengakhiri dualisme perbedaan tafsir dua lembaga negara dalam melakukan kewenannganya. Adapun implikasi yang terjadi yakni adanya perubahan politik hukum, yang mengharuskan Pemerintah untuk segera mengoptimalkan fungsi pengawasan preventif terhadap rancangan peraturan-peraturan daerah sebelum disahkan dan dinyatakan berlaku untuk umum. Adapun metode dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu penelitian law in book atau studi kepustakaan dengan pendekatan melalui peraturan perundang-undangan (statute approach atau legislation regulation approach), konseptual (conceptual approach), sejarah (historical approach), perbandingan (comparative approach) dan sistem (system approach). Adapun kosentrasi penelitian ini terkait dengan kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding. Yaitu, tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh lagi setelah putusan Mahakamah Konstitui dibacakan, hal itu berbeda dengan putusan pengadilan lainnya yang masih memungkinkan adanya upaya hukum seperti adanya kasasi atau Peninjauan Kembali. Maka dengan begitu putusan Mahkamah Konstitusi membawa perubahan implikasi politik hukum terhadap pemerintah yang hanya bisa melakukan pengawasan melalui a-priori review. Probelematika lain yang terjadi adalah menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi yang apabila dilihat pada Pasal (24C) Ayat (1) UUD’45 dapat ditemukan frasa “final”, tetapi tidak ditemukan frasa “mengikat” celah inilah yang kemudian putusan Mahkamah Konstitusi seringkali diabaikan/tidak dilaksanakan. Maka untuk dapat memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, diperlukan adanya harmonisasi perundang-undangan untuk memuat yurisprudensi ke dalam hirarki Perundang-undangan dengan cara merevisi UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai alternatif bahwa, sifat yurisprudensi itu sendiri tidak cocok apabila diterapkan dalam negara yang menganut hukum civil law/Eropa Kontinental, berbeda dengan sifat yurisprudensi yang diterapkan pada negara yang menganut hukum common law/anglo saxon.
Databáze: OpenAIRE