The Relevance of Bandung Spirit in the Contemporary Global Trade Order
Autor: | Rio Nurhasdy, Septian Nur Yekti, Rizki Rahmadini Nurika |
---|---|
Rok vydání: | 2017 |
Předmět: | |
Zdroj: | JURNAL SOSIAL POLITIK. 2:137 |
ISSN: | 2597-6648 2088-8090 |
DOI: | 10.22219/sospol.v2i1.4762 |
Popis: | Konferensi Bandung sudahdiadakan 60 tahun yang lalu. Kolonisasi telah resmi menghilang, Perang Dingin telah berakhir, dan Gerakan Non-Blok telah hampir kehilangan raison d'etre. Namun, sistem serupa dominasi kekuatan dalam tatanan dunia masih bertahan, perang terus mengancam kemanusiaan, dan kelaparan massal, penyakit, dan kemiskinan masih menjadi ciri sebagian besar negara di dunia. Ketidakadilan telah muncul dalam bentuk yang lebih canggih dengan dimensi yang lebih besar seperti sosial, hukum, dan ekonomi. Sebuah sistem dominasi dalam tatanan dunia dan ketidakadilan saat ini dapat ditemukan dalam konteks perdagangan global. Rezim dipelopori oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai tatanan baru telah meliberalisasi belahan dunia dengan menawarkan beberapa fungsi dan tujuan bermanfaat bagi negara, baik Utara dan Selatan. Bahkan, perintah ini tidak selalu membawa manfaat bagi mereka, terutama untuk negara-negara kurang berkembang yang sebagian besar berasal dari Selatan. Mereka dieksploitasi dan hanya mendapatkan sedikit manfaat dari liberalisasi perdagangan sementara negara-negara maju menuai banyak manfaat. Sebagai respon terhadap dunia kontemporer, makalah ini mencoba untuk menganalisis rasa perlunya Bandung Spiritsebagai wujud kehadiran postkolonial asli dan masa depan untuk Selatan. Pertanyaan mendasarnya adalah mengapa sistem dominasi masih ada hingga sekarang, di mana kekuasaan hegemonik dalam sistem perdagangan ditempati oleh Utara. Makalah ini juga mempertanyakan bagaimana Bandung Spriti perlu ditafsirkan karena tidak semua norma dan nilai-nilai yang ada di dalam Bandung Spirit bisa memungkinkan Selatan untuk memecahkan masalah global, terutama untuk isu-isu perdagangan Kata Kunci: b andung s pirit, l iberalisasi p erdagangan, s elatan, WTO It has been 60 years after the Bandung Conference. Colonization has officially disappeared, the Cold War has ended, and the Non-Aligned Movement has almost lost its raison d’etre. However, similar systems of domination by the powerful in the world order still persist, wars continue to threaten humanity, and mass hunger, diseases, and poverty still characterize many parts of the world. Injustice has appeared in more sophisticated forms and larger dimensions such social, law, and economy. A system of domination in the world order and injustice today can be found in the global trade context. The regime pioneered by the World Trade Organization (WTO) as a new order has liberalized parts of the world by offering some beneficial functions and objectives for countries, both North and South. In fact, this order doesn’t always bring benefits for them, especially for less developed countries which mostly come from South. They were exploited and only get little benefits from trade liberalization while developed countries reap many benefits. As a response to the contemporary world, this paper attempts to analyze the sense of the necessity of Bandung Spirit for a genuine postcolonial present and future for South. This paper questions why system of domination still exists today, where hegemonic power in trading system is occupied by North. This paper also questions how the Bandung Spirit needs to be interpreted today because not all norms and values lies within the Bandung Spirit could enable South to solve global problem, especially for trade issues. Keywords: bandung spirit, trade liberalization, south, WTO |
Databáze: | OpenAIRE |
Externí odkaz: |